desainer grafis: Wibisono Setiyoadi

 

Sebagian individu modern tampil di hadapan publik dengan begitu glamor seakan ingin menyatakan: “Saya adalah indikator hidup yang ideal.”

Ideal dalam pengertian ini tersepakati secara luas: punya bergelimang harta, ngerti fashion, tahu cara pakai skincare, atau minimal bisa bawa mobil pas cangkruk di Starbak. Ah, jangan lupa juga, sedang atau pernah kuliah di luar negeri.

Hidup ideal dalam pengertian di atas memang yang paling banyak diinginkan teman-teman kita di perkotaan. Hal ini bisa dibuktikan dengan cara bodoh-bodohan, yakni dengan melihat bagaimana diskusi modernitas oleh kalangan generasi muda di media sosial. Maka anda akan temukan seperti apa yang saya bilang di atas. Sebagian dari indivitu tersebut benar-benar bersusah payah mewujudkan kesemuanya itu.

Saya  punya seorang teman, sebut saja namanya Adian Sudjatmiko. Semasa berkuliah, Adian Sudjatmiko adalah sosok yang kritis. Pokoknya segala wujud ketidakadilan ditentangnya. Feodalisme, kapitalisme, oligarkis, dan sebagainya, adalah keluarga kata yang akan terus dia lawan. Setidaknya demikianlah yang saya dengar dari lubang mulutnya saat itu.

Menjelang lulus, daya kritisnya justru memuncak alih-alih melempem sebagaimana biasanya mahasiswa akhir yang hanyut dalam kegalauan masa depan. Sembari sibuk dengan pelbagai urusan tugas akhir, dia juga bersemangat menyusun rancangan masa depannya. Pada sebuah kesempatan, rancangannya tersebut dipresentasikan pada saya. Secara garis besar, teman saya ini ingin berdikari. Hidup bersama istri dan berketurunan, sambil berkebun. Makan tinggal cabut ubi, minum tinggal belah degan.

Singkat cerita, dia pun berhasil lulus meski agak terlambat. Lama tak terdengar kabarnya, pada suatu hari di awal tahun 2020 sebelum Covid tersesat di negara kita, Adian Sudjatmiko menelepon saya dari Jakarta. Dia kemudian bercerita (cerita ini saya susun kembali dengan versi yang lebih ringkas):

“Susah ternyata, bung. Berdikari tidak semudah yang saya bayangkan. Kita tidak bisa langsung hidup enak begitu saja. Ada proses yang perlu dilalui, dan sungguh, bung, proses itu sangat menyiksa. Pacar saya, bung, yang dulu menemani saya selama berkuliah, akhirnya undur diri. Dia menyerah mendampingi saya. Ada seorang lelaki baru datang menemuinya, dan sepertinya lelaki itu menjanjikan masa depan yang lebih terang dan konkret. Bung, sekarang ini saya sedang dalam masa quarter life crisis. Boleh saya pinjam uang?”

Sebulan kemudian, perangainya membuat saya merasa berguna meminjamkan uang itu. Beberapa kali dia sering muncul melalui status media sosial dengan pernak-pernik ala masyarakat urban. Cangkruk di Starbak, berkumpul dengan sejumlah orang yang sering membawa tas kulit di ketiaknya, mengenakan jam tangan rolek, dan beberapa kali menonton konser musik. Pasti sudah berhasil, batin saya. Tapi waktu itu saya sungguh sudah melupakan masalah piutang. Saya tak ada niatan menagih sama sekali, di samping takut dikira perhitungan.

Kebetulan saya mengikuti aktivitasnya di media sosial, dan saya pun segera menyadari, bahwa dia sering mengunggah foto atau video yang sama secara berulang-ulang – bahasa gaulnya late repost. Atau kadang, dia menyertainya dengan caption singkat begini: kangen. Entah pada siapa kata “kangen” itu dialamatkan, pada teman atau momen atau kondisinya dalam foto itu. Pokoknya tidak ada kegiatan baru yang diperlihatkannya selain mengunggah konten yang sama setiap harinya melalui media sosial. Sampai suatu hari dia kembali menelepon:

“Bung, Jakarta itu keras. Tapi asyik, parah. Di sini saya tidak lama galaunya, bung. Banyak cewek-cewek Jakarta yang nyambung kalau diajak diskusi. Dari Marxisme sampai asal-usul kekayaan. Tapi, bung, supaya bisa dekat dengan mereka kita juga butuh biaya. Bukan dalam konotasi yang negatif, lho, bung. Kami biasanya berkumpul di tempat-tempat yang memang menu minum dan makanannya agak mahal. Sebenarnya saya bisa saja mengajak mereka ke tempat yang lebih merakyat, tapi amat sulit menemukannya di sini. Bung taulah apa yang saya maksud. Kalau pun ada, itu pasti jauh sekali. Singkatnya begini, bung, saya pinjam uang lagi, dong. Hutang saya yang sebelumnya tetap bung catat. Harus. Nanti kalau sudah dapat kerja yang jelas, saya akan kembalikan tiga kali lipat.”

Sejak saat itu saya tahu kemudian bahwa dapur ekonominya belum stabil. Begitu juga dalam urusan percintaan. Saya agak sulit membayangkan, bagaimana teman saya yang dulunya begitu paham apa itu ‘benar’ dan ‘keliru’ ini berubah drastis menjadi sosok yang asing. Bagai terlahir kembali dari rahim ibu kota, dan hanyut ke dunia yang diam-diam merantai kebebasannya sebagai subjek yang semestinya bisa memilih hidup dengan cara apa saja. Karena saya yakin betul, hidup yang dijalankan teman saya itu sekarang, bukanlah keinginan dia seperti yang pernah disampaikannya dulu.

Ndilalah beberapa hari sebelum wabah virus melanda, sebuah nomor asing menghubungi saya. Begini katanya:

“Ini saya, Bintang (bukan nama asli). Saya dulu pacar temanmu, si Adian Sudjatmiko. Masih ingat? Aku minta nomor rekeningmu, aku mau bantu dia bayar hutang. Tolong berhenti meminjamkannya uang lagi. Kamu perlu tahu, uang-uang yang kamu pinjamkan tidak pernah bermanfaat sepeser pun. Hanya dipakai berfoya-foya. Dia malu tidak kelihatan sukses oleh keluarga dan teman-temannya. Makanya saya putus dengannya. Saya tak bisa dengan orang seperti itu.”

Sampai di sini masalah sudah saya anggap beres. Semua telah menjadi jelas. Di dalam kehidupan urban yang semakin mendesak individu untuk hanyut ke pusarannya itu, saya akhirnya memaklumi bagaimana teman saya, si Adian Sudjatmiko, apa mabuk pergaulan atau seperti yang dikatakan mantan pacarnya itu, saya simpulkan memang membutuhkan pertolongan kendati hingga hari ini teleponnya tidak pernah lagi saya angkat. Yasudahlah, nasi Adian Sudjatmiko sudah menjadi bubur.

Seperti soal-soal cerita di buku pelajaran bahasa Indonesia, dari kasus tersebut lalu saya memetik hikmah: Kehidupan ideal versi masyarakat urban, sejauh ini masih menjadi pemenang (pengetahuan dominan). Yang kalah, atau terpaksa berkompromi dengan situasi itu, harus siap dengan segala risiko hanyut ke pusarannya: kapitalisme.

Robbyan Abel R

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *