desainer grafis: Eudora Creative / dokumentasi foto: Fokus Unram

Lampu menyoroti panggung, musik ave maria masuk. Aktor berbaring di balik selimut yang kumuh. Panggung itu bermaksud memberitahu penonton, bahwa suasana sedang tidak baik-baik saja. Sepeda yang tampak tak bisa dijelaskan lagi bentuknya, kasur, dan sejumlah perabotan dapur ditumpuk menjadi bukit kecil.

Aktor bangun dari tidurnya.

Penata rias bekerja dengan baik, bibir pucat itu menyiratkan ketakutan yang mendalam. Aktor memerankan sosok seorang perempuan yang tengah menanti entah siapa di tengah peperangan. Barangkali lelaki yang disebut-sebutnya datang ke dalam mimpi, menyuruhnya mencari perlindungan sampai revolusi selesai.

Perempuan itu – sebelumnya kita menyebutnya aktor – seringkali menatap ke arah api unggun. Api unggun yang menjilat rendah, namun cukup terang untuk memantulkan bayangan setiap gerak tubuh si perempuan.

Di belakang api unggun, tepatnya di dekat tenda berdiri, wajah Che Guevara dilukis amat jelas. Sosok revolusioner yang dalam pementasan ini barangkali menjadi simbol gerakan perlawanan rakyat Timor-Leste. Mengingat Che Guevara dan Frenta Revolucionaria de Timor-Lesta (gerakan yang memperjuangan kemerdekaan Timor-Leste) memiliki haluan ideologi yang sama: Sosialisme.

Pementasan Suara dari Perbatasan adaptasi cerpen Irma Agryanti yang diperankan oleh Husnu Nazory R telah menghanyutkan penonton ke dalam realitas cerita. Kondisi latar dan kondisi karakter telah ditafsirkan dengan komprehensif, sehingga penonton mungkin akan sulit untuk tidak membayangkan lagi pementasan tersebut apabila kelak membaca cerita suara dari perbatasan. Sementara bagi yang sudah membaca, mungkin akan sedikit bertanya-tanya tentang berbagai improvisasi properti yang berada di atas panggung.

Properti-properti yang dihadirkan, alih-alih menjadi properti fungsional; perangkat yang digunakan aktor untuk mendukung gerakannya, justru menjadi properti realis; perangkat yang diletakkan semata-mata untuk menghidupkan realitas cerita di atas panggung.

Realitas yang timbul di balik properti-properti itu bisa kita hubungkan dengan sejumlah simbol. Misalkan api yang menyala di depan panggung.

Dalam tradisi Katolik, api dikenal sebagai salah satu lambang yang selalu identik dengan Roh Kudus. Alkitab menggambarkan Allah sebagai “api yang menghanguskan” (Ibr 12:29). Kelak kemudian, pengertian api mengalami perkembangan makna sebagai simbol perlawanan.

Tafsiran saya terhadap api dalam pementasan ini bisa saja terlalu jauh. Tapi tafsiran tersebut menjadi hal yang memungkinkan ketika musik ave maria mengapung selama pementasan. Pemilihan ave maria sebagai musik latar menjadi tindakan yang tepat untuk mempertebal citra rohani dalam pementasan ini.

Diskusi tentang penafsiran terhadap lagu ini pun cukup beragam. Beberapa di antaranya menyebutkan bahwa Ave Maria mengisahkan tentang perjuangan seorang perempuan dalam melalui masalah hidup. Ada juga yang mengatakan bahwa Franz Schubert (Composer Ave Maria) terinspirasi dari puisi Lady of the Lake karya Walter Scott yang mengisahkan konflik para raja saat memperebutkan seorang wanita.

Pada akhir ulasan ini, saya hendak mengatakan bahwa bahasa tubuh tokoh perempuan di atas panggung, yang nyaris selalu menatap ke arah api, seperti memiliki relasi yang kuat. Bahasa tubuh yang bermakna menyedihkan; kita seolah-olah melihat Maria sedang berbicara dengan Roh Kudus di tengah penderitaannya.

Timor-Leste dijajah oleh Portugal pada abad ke-16, dan dikenal sebagai Timor Portugis sampai 28 November 1975, ketika Front Revolusi Kemerdekaan Timor-Leste (FRETILIN) mengumumkan kemerdekaan wilayah tersebut. Penjajahan Portugal selama berabad-abad di Tomor-Leste sekaligus serta membawa agama Katolik sebagai agama mayoritas di sana. Dalam pementasan ini, suasana rohani Katolik terekam dengan jelas.

komunikasi

Dalam bidang keilmuan komunikasi, kita mengenal dua bentuk komunikasi; verbal (kata-kata) dan non-verbal (gerakan tubuh). Kita juga bisa menggunakan dua jenis komunikasi ini sebagai pisau analisis di atas panggung teater.

Sepengamatan saya di panggung-panggung lain, ketika seorang aktor (dalam pementasan realis) tidak cukup baik dalam menerjemahkan naskah ke bentuk komunikasi verbal, ia akan segera menutup kekurangan tersebut dengan komunikasi non-verbal. Begitu juga sebaliknya, bila ia memiliki gerakan tubuh yang terbatas di atas panggung, ia pasti akan memaksimalkan kekuatan komunikasi verbal.

Dalam pementasan Suara dari Perbatasan, tokoh perempuan yang diperankan Husnu Nazory R telah berhasil memaksimalkan kedua bentuk komunikasi itu. Intonasi setiap kata, jeda antar kalimat, gestur tubuh yang aktif, perpindahan posisi dari satu titik ke titik lain di atas panggung terjadi sedemikian rupa, sehingga membuat penampilannya tampak sulit dikritik.

Robbyan Abel R

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *