Pada permulaan tahun 2021, kita diterpa berbagai berita trivial yang beredar secara sporadis. Misalnya, masih masak di ingatan publik tentang bagaimana perseteruan Kaesang Pangarep dengan keluarga Felicia Tissue karena tak terima putri dari keluarga mereka dicampakkan, yang semua kisahnya tidak hendak saya tulis ulang di sini. Melainkan, saya akan berupaya melakukan pembacaan terhadap bagaimana laku-laku publik dan media akhirnya menjadi saling berkaitan.
Tragedi percintaan ini mencuat ketika publik masih berada di ambang ketidakpastian nasib selama pandemi. Peristiwa politik, ekonomi, hukum dan kemanusiaan sesaat tertutup akibat berita Kaesang dan Felicia yang membadai. Fenomena yang tampak sesaat ini, seakan-akan hadir memang sebagaimana mestinya seolah-olah tak termasuk dalam agenda yang disengaja. Sebab yang diberitakan adalah tragedi percintaan, maka memang sepatutnya kecurigaan semacam itu diletakkan pada tempat yang lebih relevan.
Televisi Orde Baru
Pada 16 Agustus 1976, Soeharto berpidato mengenai penggalakkan program televisi masuk desa. Untuk desa yang belum teraliri listrik, disediakan pula generator. Dari data yang dikemukakan Bappenas, pada 1976/1977 telah tersebar sebanyak 3.000 pesawat televisi di kecamatan-kecamatan seluruh tanah air. Kendati sebagian banyak televisi itu diletakkan di tempat-tempat elit lokal, seperti rumah Bupati dan Kepala Desa.
Pada masa itu, memang tidak banyak program ditayangkan oleh TVRI selain menjadi corong pemerintah untuk mendistribusikan informasi betapa suksesnya Soeharto melakukan pembangunan. Sesuatu yang berdampak besar terhadap daya kritis masyarakat pedesaan dan mempengaruhi cara mereka memandang Soeharto sebagai “orang baik”. Adapun gerakan-gerakan perlawanan yang bernada kecil hanya terjadi dari kalangan nahdliyn di Jawa atau kampus-kampus yang berdiri di perkotaan.
Tidak cukup mencitrakan kesuksesan Soeharto, pada tahun 1989 (dan setelahnya) Orde Baru pun mengembangkan propagandanya melalui saluran perusahaan swasta yang dikelola langsung oleh keluarga cendana. Media-media tersebut antara lain; Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Surya Citra Televisi (SCTV), dan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Ketiga media ini tidak terlalu memfokuskan tayangannya terhadap konten-konten yang bersifat formal seperti berita pembangunan dan lain-lain sebagaimana dilakukan oleh TVRI, melainkan lebih kepada tayangan-tayangan hiburan yang sengaja dihadirkan tanpa bobot kritis nan edukatif kendati nama salah satu dari ketiganya memuat kata “pendidikan”. Masa-masa inilah yang kemudian mendorong diproduksinya film-film bercorak patriarki, misalnya.
Masifnya perfilman Indonesia pada masa-masa itu berhasil melahirkan bintang-bintang layar kaca. Kehidupan para bintang ini, pun mendapatkan posisi khusus dalam kebutuhan informasi masyarakat. Maka dimunculkanlah oleh RCTI pada tahun 1996 sebuah acara infotaintment pertama di Indonesia bertajuk Kabar Kabari. Kehidupan para bintang ini, khususnya mereka para aktris (perempuan), mendapatkan sorotan lebih dominan. Komodifikasi kehidupan dari ranah privasi pun mulai menjadi hal yang ternormalisasi.
Naasnya lagi, program-program semacam ini juga berkontribusi terhadap volume rating yang diterima stasiun televisi tersebut. Sebelumnya, rating telah diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1991, sesuai permintaan stasiun televisi dan juga perusahaan periklanan (P3I).
Keberadaan sistem pe-rating-an ini menjadi semacam daya tawar stasiun televisi untuk perusahaan-perusahaan yang ingin mengiklankan prodak mereka. Logika industri pun mulai mengintervensi tayangan yang dikonsumsi publik. Tayangan tak bermutu dan jauh dari kepentingan publik semakin mendapatkan tempatnya, dan iklan-iklan dari prodak yang tak dibutuhkan publik kian mendominasi waktu siar.
Dikutip dari Remotivi; Agustus 2015 lalu, Presiden Jokowi Widodo mengundang direktur program televisi swasta bersiaran nasional ke Istana Merdeka. Dalam forum tersebut, Jokowi menyatakan bahwa, “Upaya mengejar rating program televisi yang dianggap kurang mendidik dan tidak layak untuk ditonton anak-anak. Sinetron yang ratingnya tinggi, saya kira urusan industri bisnis, tapi jangan sampai kita ini memandu publik untuk masuk ke sektor yang konsumtif, ke sektor yang bermewah-mewahan, karena yang kita lihat seperti itu. Kemudian juga ke sektor yang tidak rasional, banyak yang takhayul juga. Ini yang dikomplenkan dari ormas agama.”
Kini, pernyataan Presiden Jokowi itu tampaknya telah menjadi bumerang yang konyol. Sebab kita tahu bahwa, setelah tragedi percintaan yang menimpa putra bungsunya, ia menghadiri bahkan menjadi saksi dalam sebuah acara pernikahan influencer Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah. Acara penuh sponsor yang mengambil hak publik untuk mendapatkan siaran berkualitas dan sesuai kebutuhan bersama.
- Tentang Tuan Guru Tretetet, Ulama dengan Kisah Kesaktian yang Melegenda, Suara Tawanya Renyah - November 6, 2022
- Film Jamal: Fenomena yang Ada di Dekat Kita, dan Kita Tahu itu Apa - September 14, 2021
- Menanti Kata, Kegenitan Lirik dalam Musik Mirakei - September 10, 2021