Sumber foto: sundancer.wav
Sundancer resmi melepas Suvenir, sebuah EP yang merangkum berbagai pandangan komedik ala lokal. EP yang dilepas pada April lalu ini berdiri di bawah naungan label rekaman asal Jakarta, La Munai Records. EP tersebut hadir dengan tujuh nomor di dalamnya. Sebelum dikembangkan OmRobo dan Decky Jaguar, kabarnya keseluruhan kerangka musik dari ketujuh nomor tersebut dibuat oleh Bagus Wiratomo, seorang vokalis band punk rock asal Yogyakarta, Mortal Combat, yang kemudian kepada dirinyalah EP tersebut didedikasikan.
Dari ketujuh nomor tersebut, Gadis Bermata Biru merupakan salah satu lagu yang paling menyita perhatian saya. Mungkin bisa dibilang, antara semua yang sudah saya dengar, memang lagu tersebut yang paling tajam kekuatan penuturan komedik-nya. Lagu ini berada di urutan terakhir dari ketujuh nomor; dalam psikologi album, lagu terakhir umumnya diisi oleh lagu-lagu yang menjadi pamungkan dalam sebuah “paket musik”, atau “spoiler” untuk warna album selanjutnya.
Terpana / pesonanya / kurasa / tenangkan jiwa / bujuk / rayu kulantunkan kepadamu / tak bergeming dirimu / berlalu / terbawa angin laut / gadis bermata / biru.
Lagu ini berdurasi 2:58, dan selama rentang waktu tersebut, kita berkesempatan untuk menikmati campuran musik bercorak garage rock juga surf rock sekaligus. Kedua aliran ini membawa semangat yang energik sebagaimana perkembangannya, perpaduan yang akhirnya melahirkan skenario bunyi yang agresif melalui pertanggungjawaban lirik sederhana, santai: seperti di pantai.
Gadis Bermata Biru dalam pemaknaan saya, menceritakan tentang seorang perempuan bule, yang memiliki konotasi terhadap gambaran mata biru. Ditambah lagi bagaimana MV Gadis Bermata Biru direspons menggunakan visualisasi perempuan-perempuan bule yang beraktivitas di pantai telah menguatkan asumsi awal saya. Imajinasi saya kemudian mengalir terhadap sosok aku yang jatuh cinta pada Gadis Bermata Biru. Bila kita mau lebih kontekstual dengan asal kelahiran Sundancer (Lombok) dan bagaimana mereka dikenal sebagai band bernuansa surf rock, maka besar kemungkinan bahwa lagu ini merupakan respons terhadap fenomena banyaknya masyarakat lokal yang jatuh cinta pada perempuan bule: pengolahan nuansa musik dan tema ceritanya menjadi sesuatu yang seakan-akan merujuk pada citraan tersebut. Pembawaan vokal yang “kuno” dalam lagu ini juga tampaknya sengaja dilakukan untuk mengejar romantisme pada cara penuturan khas bahasa Indonesia 60-an.
Apakah akan ada pertanyaan: Bagaimana bila sosok aku bukan seseorang dari masyarakat lokal? Pertanyaan ini rasanya mudah dijawab jika kita melihat sikap Sundancer untuk menggunakan lirik bahasa Indonesia baku khas 60-an yang dramatik dan berima. Sikap tersebut bisa diartikan sebagai penegasan dari karakter tokoh aku yang memiliki keberbedaan identitas bahasa dengan si gadis bermata biru. Pada permulaan tahun 60-an, lirik-lirik berbahasa Indonesia belum banyak terpengaruhi oleh bahasa komunitas atau bahasa gaul, sehingga kebakuan-kebakuan tertentu masih terasa kental sampai beberapa puluh tahun kemudian.
Komponen-komponen yang hadir dalam lagu ini berkontribusi terhadap munculnya kesan romantis yang lucu nan menggelitik. Saya bisa membayangkan kekonyolan seseorang yang tidak mampu menjangkau Gadis Bermata Biru untuk urusan percintaan, imajinasi itu tampak terang di kepala saya seperti sebuah film “jadul” namun masih relevan hingga saat ini – setidaknya bagi Sundancer dan masyarakat yang hidupnya berdekatan dengan pantai dan bule.
Aksen musik Sundancer yang didukung cerita-cerita komedi dan kesan-kesan romantik tempo dulu, rasanya boleh dibilang telah berhasil membangunkan bentuk berbeda dalam identitas musik “pantai”.
Siang / malam / kuhanyut dalam pikiran / semakin terjebak / dalam pusaran / perangkap asmara / gadis bermata biru.
- Tentang Tuan Guru Tretetet, Ulama dengan Kisah Kesaktian yang Melegenda, Suara Tawanya Renyah - November 6, 2022
- Film Jamal: Fenomena yang Ada di Dekat Kita, dan Kita Tahu itu Apa - September 14, 2021
- Menanti Kata, Kegenitan Lirik dalam Musik Mirakei - September 10, 2021