Pertama mari kita ucapkan selamat pada film Jamal karya Muhammad Heri Fadli, yang masuk ‘Official Selection 2021 Sundance (Asia) Film Festival’ bersama 9 film lain di Asia, dipilih dari ratusan film yang telah diusung untuk mengikuti ajang tersebut.

Heri mulanya tak menyangka filmnya akan masuk dalam daftar terpilih. Berbekal iseng-iseng dan tidak berekspektasi sama sekali, Jamal tanpa diduga-duga justru membuat Heri dan para crew tersentak. Menyinggung Heri dan para crewnya adalah kenyataan yang lucu bagi saya.

Dalam wawancara via telepon – Heri saat ini sedang menjalani studi di Kuala Lumpur – Heri mengungkapkan bahwa nyaris semua crew dalam produksi film Jamal tak tahu-menahu soal perfilman. Bahkan yang pernah menonton film di bioskop saja terhitung hanya dua; Heri dan seorang saudaranya. Artinya, pengerjaan film menjadi sama sekali baru bagi semua crew yang terlibat, dan berhasil lolos sampai ke festival level internasional tentu hal yang paling tak pernah mereka rencanakan sejak awal.

Film Jamal mendapatkan layar pertamanya di NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2020 dan teranyar di Ischia Global Film & Music Fest Italia 2021. Mendapatkan semua kesempatan itu saja bagi Heri sudah lebih dari cukup. Namun seiring perjalanan Jamal sampai hari ini, berbagai penonton dari berbagai festival telah melihat Jamal menjadi bagian dari film Asia yang patut diperhitungkan.

Jamal

Film Jamal bercerita tentang TKI yang meninggalkan seorang istri di daerah asalnya (Lombok, Indonesia). Potret kehidupan keluarga TKI inilah yang menjadi fokus penuturan film. Adegan-adegan yang memperlihatkan suasana perbukitan, siratan tekanan ekonomi, dan suara-suara alam seperti angin dan lolong anjing, membuat bangunan film Jamal menjadi karya yang utuh.

Fakta menarik lain dari film ini ialah bahwa Heri sang sutradara dan para crew yang terlibat, kesemuanya hidup dalam lingkungan tenaga kerja imigran. Selain menempuh riset yang panjang, bahwa pada dasarnya film Jamal adalah pengalaman tubuh mereka sendiri yang dibesarkan di lingkungan tersebut. Bisa dikatakan, bahwa film Jamal merupakan upaya untuk mengabadikan pengalaman hidup Heri dan para crew. “Film ini tidak hanya dekat dengan saya dan para crew, tapi kami memang mengalaminya. Orangtua kami, saudara kami, keluarga kami, hampir seluruhnya adalah TKI,” kata Heri.

Film Jamal adalah subjek yang berbicara mengenai betapa banyaknya orang-orang yang dengan berat hati meninggalkan keluarganya di Indonesia, untuk bertaruh nasib ke negara-negara lain seperti Malaysia. Heri juga tak lupa mengungkapkan bahwa Lombok menjadi salah satu distributor TKI terbesar dari Indonesia. Alih-alih menjadi masalah yang perlu dijawab oleh semua pihak, kenyataan bahwa buruknya situasi ekonomi daerah hingga menyebabkan kepergian para TKI justru menjadi pembiaran sampai hari ini. Fenomena ini dekat dengan kita, dan kita tahu itu apa. Maka Heri, melalui film Jamal, membantu kita untuk melihatnya – (fenomena itu) – dengan lebih jelas.

Sinema di Lombok

Semua pencapaian yang saat ini diraih film Jamal, Heri, dan para crew, tidak lepas dari dukungan banyak orang. Pada awal persiapan produksi, Heri sempat pesimis dan ingin melanjutkan karir di Jogja atau Jakarta alih-alih berkarya di Lombok. Namun keputusan itu segera diurungkan, lambat laun proses berjalan, dukungan pelan-pelan berdatangan. Mulai dari Putu Yudistira sang produser juga suntikan pendanaannya, Bli Mantra yang mengutak-atik perbunyian dalam film ini, hingga Paerstud yang menggarap poster film. Semangat kolektif dari internal crew maupun pihak-pihak eksternal akhirnya meneguhkan tekad Heri untuk menuntaskan garapannya ini.

Berkaitan dengan pengalamannya itu, Heri juga menyampaikan agar para sineas Lombok kelak dapat menemukan film yang membuat mereka menjalani proses kreatifnya dengan ikhlas. Menurut Heri, film dibuat tidak sekadar untuk “jadi” melainkan harus “disempurnakan” pula. Tak masalah bila perlu memakan lebih banyak waktu, yang penting segala sesuatunya wajib dimaksimalkan. “Naik-turun kualitas itu urusan belakang,” lanjutnya.

Heri juga memberikan pendapatnya tentang penonton film yang ada di Lombok. Ia berharap di masa yang akan datang, para penonton film mau lebih mudah mengapresiasi karya-karya lokal. Sebab hanya dengan terciptanya kolaborasi antara para sineas dan penonton, ekosistem perfilman di Lombok bisa bangkit. “Banyak sekali film-film yang bagus di Lombok, dan semuanya sangat membutuhkan apresiasi,” pungkas Heri kemudian.

Robbyan Abel R

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *