Kumpulan 10+2 cerpen ini diberi judul “Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan” yang sekaligus menjadi judul cerpen pertama. Bisa jadi cerpen ini yang menurut penulis representative untuk menggambarkan keseluruhan isi buku, atau ‘yang paling menarik dan mengundang penasaran’ bagi pembaca. Tetapi bagi saya, semua cerpen di dalam buku ini powerful, metaforis tetapi tegas, bercerita tetapi lugas menyampaikan pesan, serta keras menusuk sekaligus mendayu-mengharu perasaan.

Mengapa 10+2? Mengapa saya tidak menyebutnya selusin atau lebih jelas: dua belas cerpen? Jika Anda menyimak tulisan ini selanjutnya, Anda akan menemukan jawabannya!

Secara umum “sepuluh plus dua cerpen” dalam buku ini menggambarkan hiruk pikuk, kompleksitas, ketundukan, ketertindasan, kekuatan, dan ketegaran makhluk bernama perempuan.

Kesemua itu disampaikan dalam cerita fiktif. Tetapi bagi mereka yang ‘mengalami dan merasa’ menjadi perempuan, serta merta akan hanyut dan menyetujui bahwa kesemuanya lebih dari sekadar fiksi atau dramatisasi. Kompleksitas tersebut adalah sesuatu yang nyata, sangat dekat, bahkan menjadi urat nadi kehidupan perempuan, di manapun, dan dalam konteks agama apapun.

Isi Cerita

Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan menceritakan seorang perempuan (Sulin) yang menolak untuk menikah walaupun sudah dilarikan. Ia didukung penuh oleh kakak iparnya (Srimpi) walaupun kakak kandung laki-lakinya (Gedarik) mencapnya sebagai aib keluarga. Buah bibir seantero kampung menjadikannya perempuan yang tidak baik. Cerpen ini menggugat tradisi merariq yang melumpuhkan kemerdekaan perempuan dari pilihan hidupnya.

Dendam yang Lapar meneropong berbagai bentuk pernikahan yang meluruhkan harga diri perempuan;  pernikahan paksa, pernikahan dini, dan poligami. Alin yang berpacaran dengan Suma (anaknya Swarta) terpaksa menikah dengan Haji Buloh, tokoh antagonistik, pada umur belia, 15 tahun. Karena tak kunjung memiliki anak, Buloh menikah lagi dengan perawan seusia Alin saat menikah. Alin sendiri adalah istri ketiga yang telah ditumbalkan oleh bapaknya (Ishan)  karena ambisinya menjadi kepala desa. Ishan bekerja sama dengan Buloh untuk membunuh Swarta lalu Suma lah yang membalas dendam membunuh Buloh.

May, cerpen dengan judul tersingkat ini membicarakan kekerasan seksual dan relasi kuasa. May adalah nama tokoh yang dengan segala cara menepis rayuan bosnya untuk melayani nafsu bejatnya. Pada akhirnya kehormatannya hampir terenggut atas kelicikan bosnya justru pada saat ia ingin mengundurkan diri dari kantor itu, setelah sebelumnya si bos bejat meremas payudaranya. Dan lagi-lagi dia menjadi perempuan yang disalahkan. May ingin membalas dendam tetapi  dia harus berubah jadi mengerikan dengan badan kepala yang ditumbuhi ular.

Sudah Kukatakan Aku Timun Mas menceritakan behind the scene seorang perempuan prostitusi. Arini terjebak prostitusi karena kemiskinan. Ia diserahkan oleh orang tuanya ke Abang (germo) pada saat umurnya 17 tahun, untuk membayar hutang kepada rentenir. Arini menjalani perannya dengan tersiksa, membuatnya sering kali mencoba kabur. Suatu ketika Arini menemukan seorang bayi yang dipastikan buangan perempuan non prostitusi. Mereka menjaga bayi ini sampai besar. Pada saat umur 17 tahun, bayi yang diberi nama Timun Mas ini diambil paksa oleh Abang dan di tangan Timun Mas lah dicurigai si germo meregang nyawa. Abang ditemukan mati mengambang di kolam renang oleh polisi pada saat Timun Mas bersamanya. Polisi tidak bisa menindaknya karena si Timun Mas sama sekali tidak beridentitas. Ia tumbuh rahasia di kurungan prostitusi itu.

Tegining-Teganang adalah kisah pasangan suami istri yang awalnya miskin. Mereka berani berusaha out of the box dengan menjual tanah warisan untuk modal menjadi peternak sapi.  Mereka berhasil jadi kaya, tetapi rakus. Akhirnya rasa tidak puas yang justru melempar mereka kembali ke jurang kemiskinan secara tidak terhormat.

Ketika Malaikat Maut Mengambil Cuti menggambarkan betapa malaikat pun berempati kepada perempuan yang tak pernah mereguk kebahagiaan dalam hidupnya. Ia bahkan meminta cuti kepada Dewan Penentu Kebijakan Langit untuk sekadar menunda kematian seorang perempuan, yang pada usia dini harus kehilangan ibunya. Ia membunuh seorang laki-laki (yang mungkin) barusan merampas kehormatannya, lalu kemudian berupaya bunuh diri.

Suling Pemikat dan Misteri Hilangnya Para Bocah. Benar jualah bahwa buah tak bisa dinilai dari kulitnya. Begitu banyak manusia yang bisa mencitrakan diri dengan baik walaupun senyatanya ia bobrok. Demikian pula, banyak kejahatan yang tampak, tetapi kita tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Hal itulah yang diceritakan dalam cerpen ini dengan tokoh utama Bugupraja dan Giri.

Bocah Terbang dan Anak Yang Merasa Hilang. Seorang “Aku” yang tak pernah mengenali ayahnya karena si ibu berhubungan dengan laki-laki yang tak bersedia berkomitmen penuh. Si ibu yang pekerja keras menjadi buah bibir seantero kampung, dituduh memiliki pekerjaan haram, perebut laki-laki orang, dan istri simpanan. Aku pun dijuluki anak setan. Ketika ibunya ‘pergi’ dengan sakit yang sungguh sakit sampai tak ada lagi darah yang tersisa, “Aku” ingin terbang entah ke mana mengikuti si bocah terbang berharap menemukan dunia kebahagiaan.

Perempuan Ceria dan Kotak Pandora di Pelukannya. Tokoh suami yang hanya memiliki ibu sepanjang hidupnya di cerpen ini adalah gambaran laki-laki setia yang menerima si “perempuan ceria” apa adanya, menemaninya sampai akhir hayat karena menderita HIV Aids. Pengorbanan yang  senyatanya bukan pengorbanan sebelah tangan, karena si suami merasa perempuan inilah – selain ibunya- yang memberikan dunia yang juga indah.

Dongeng Pengantar Kematian menggambarkan bagaimana seorang perempuan (Saim) terperangkap dalam jebakan patriarki  melalui (Awat) dan kemudian juga menjadi pelaku yang mengorbankan sesama perempuan (Sakha, Illit, dan Hasa). Awat dan Sakha adalah bapak dan ibu Illit, gadis kecil  yang mengalami trauma melihat kekerasan yang dilakukan ayahnya kepada ibunya, sampai ibunya lumpuh. Teman hangatnya hanya boneka beruang. Saim adalah istri kedua Awat yang dulunya menjadi pekerja di rumah mereka. Saim terjebak hutang orang tua sehingga memiliki hubungan terlarang dengan Awat. Saim hamil dan melahirkan Hasa. Saim menebus rasa bersalah dengan merawat Sakha dan Illit. Pada akhirnya Saim membunuh anak tirinya (Illit) karna anak tirinya membunuh anak kandungnya (Hasa).

Sihir Bumi. Penguasa Gububesi yang ditopang oleh tokoh Ki Endut secara licik mengeksploitasi alam dan membohongi penduduk. Bumi yang mereka pijak tak lagi ramah karena kerakusan mereka. Seorang anak kecil yang lahir dari kerak bumi yang diberi nama Bumi dengan ‘kekuatannya’ akhirnya mengembalikan kondisi bumi menjadi layak ditempati.  

Perawan, Perawan, Turunkan Rambutmu!  Pesan kuat dari cerpen ini adalah perempuan adalah self-rescue. Untuk Bahagia dan keluar dari masalah, perempuan tak perlu menunggu “sang pangeran berkuda putih” seperti dalam dongeng-dongeng Sleeping Beauty atau Cinderella. Perempuan harus memiliki keberanian dan upaya sendiri untuk keluar dari kehidupan yang membuat mereka terkungkung.  

Ulasan

Masing-masing cerpen di atas memiliki kekuatan dalam menyoal kembali epistemologi narasi dari alam pikiran masyarakat dengan menggunakan perspektif post-colonial. Dalam dunia literature perspektif ini biasanya digunakan untuk menyuarakan colonized views melawan public discourse warisan dari mereka yang berkuasa.[1]

Hampir seluruh cerpen secara eksplisit menggambarkan inequality regimes[2] yang telah berakar, berjalin-kelindan dalam kehidupan sosial, di mana perempuan menjadi kelas kesekian. Terkadang mereka tak lebih penting dari aspek-aspek lain, termasuk dalam isu kemanusiaan.  Hal ini misalnya terlihat pada cerpen Dendam yang Lapar dan Bocah Terbang dan Anak yang Merasa Hilang.

Akan tetapi perempuan tetap memiliki agensi (kapasitas bertindak).[3] Kapasitas ini dibentuk baik secara internal maupun secara eksternal, dan di tangan perempuan semua resources yang mereka miliki dijalin menjadi sebuah kekuatan. Sebagai pijakan untuk berdiri, baik untuk sekadar bertahan, maupun untuk menyusun strategi dan melawan. Misalnya pada cerpen Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan, May, Sudah Kukatakan Aku Timun Mas, dan Ketika Malaikat Maut Meminta Cuti.

Negosiasi ruang[4] adalah wujud dari agensi perempuan. Negosiasi memerlukan komunikasi efektif dan posisi seimbang. Tetapi kenyataannya, perempuan memerlukan “sesuatu yang lebih”  untuk bisa menegosiasikan dirinya. Sesuatu itu bisa berupa posisi, kepintaran, keberanian dan lain-lain. Hal ini misalnya terlihat pada cerpen Perawan, Perawan Turunkan Rambutmu!

Kesemuanya itu menjadi lebih kompleks dengan adanya The Paradox of Patriarchy[5]. Patriarki tidak selalu menyediakan jurang tetapi juga karpet merah. Patriarki bukan hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan atau kerjasama yang baik antara laki-laki dan perempuan. Hal ini misalnya terlihat pada cerpen Tegining Teganang, Perempuan Ceria dan Kotak Pandora,  serta Dongeng Pengantar Kematian.

Apakah sudah ada gambaran mengapa 10+2? Berapa cerpenkah yang sudah saya sebut pada ulasan di atas? Berapa yang belum dianalisis dengan teori-teori tersebut? Apa saja?

Ya! Suling Pemikat dan Misteri Hilangnya Para Bocah dan Sihir Bumi. Kedua cerpen ini memang tak langsung terkait dengan kehidupan perempuan. Tetapi isunya tetap penting. Karena gender adalah cross-cutting issues maka dalam perspektif intersectionality[6] perempuan dan feminism amat membenci kerakusan, kepura-puraan, dan eksploitasi atas nama apapun. Di sinilah relevansinya.

Overall, kumpulan cerpen ini dahsyat! Selamat bagi Riyana Rizki, sang penulis. Sebagaimana namamu, engkau adalah rizki bagi kami, NTB,  Indonesia dan perempuan seluruhnya.***

 

[1] Minh-ha, Trinh T. Woman, Native, Other: Writing Postcoloniality and Feminism. Indiana University Press, 1989.

[2] Acker, Joan.,  “From Glass Ceiling to Inequality Regimes in Sociologie du Travail, 51(2), 199-217, 2009

[3] Fuchs, S., “Agency (and Intention)”. In G. Ritzer (Ed.), Blackwell Encyclopaedia of Sociology. London: Blackwell Publishing, 2007.

[4] Wardatun, Atun. Negosiasi Ruang, Mataram: PSW IAIN Mataram, 2008

[5] Haeri Shahla. The Unforgottable Queens of Islam: Succession, Authority and Gender, USA: Cambridge Univerity Press, 2020.

[6] Gray, Ashley., “Black Women and Intersectionality in US Higher Education,” in American Council on Education, International Briefs for Higher Education Leaders. Boston College Centre for International Higher Education (9) 2021.

 

Avatar
Latest posts by Atun Wardatun (see all)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *