Lagu-lagu yang berasaskan solidaritas selalu hadir sepanjang zaman. Bukan cuma di masa demokrasi-kapitalistik, di mana kebebasan bersuara menjadi prasyarat dari situasi semacam itu, melainkan juga —dan terutama- di masa represif-otoriter ketika lagu-lagu (serta banyak cabang seni lainnya) cenderung menghadirkan karya-karya solitarian; entah disebabkan oleh minat senimannya atau karena sensor dan pembatasan.

Menciptakan dan membawakan lagu-lagu yang berasaskan solidaritas di masa represif-otoriter tentu berbeda dengan di masa demokrasi-kapitalistik. Pada yang pertama, musisi tak cuma berhadapan dengan tangan penguasa, melainkan juga dengan hegemoni industri arus utama yang sudah tentu tak berani macam-macam dengan penguasa, jika tak mau diberangus. Sementara pada yang kedua, kebebasan bersuara sudah menjadi milik siapa saja, sehingga menciptakan dan membawakan lagu-lagu berasas solidaritas tak lagi serta merta menunjukkan “keberanian” seorang seniman untuk bersuara.

Namun, apakah kemudian “nilai” dari lagu-lagu tersebut berubah (atau berkurang)? Tentu saja tidak. Sebab, meskipun banjir terjadi di mana-mana, bukankah nilai air sebagai elemen terpenting di bumi tak berubah atau berkurang sama sekali? Analogi ini bisa dibulatkan dengan pernyataan lain: dalam situasi apapun, di masa macam apapun, selalu ada yang harus tetap ada.

Larik “ada yang harus tetap ada” saya kutip dari larik pertama lirik lagu Lavie: Wiji Munir Marsinah. Lagu ini adalah lagu ketiga dari album terbaru Lavie: “Tak Seterang Jalan Tuhan” (Ya Records, 2021). Membaca judul Wiji Munir Marsinah, tentu kita tak perlu berlama-lama untuk memahami tema lagunya. Wiji Thukul, Marsinah, dan Munir adalah tiga sosok utama yang sudah menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan represif-otoriter. Dalam dunia faktual, kasus hilangnya Wiji Thukul, serta tewasnya Munir, dan Marsinah, belum tuntas sampai sekarang. Oleh karena itu, sampai kapan pun, suara-suara tuntutan yang berhubungan dengan kasus yang mengorbankan ketiga sosok penting tersebut akan tetap diserukan. Sebab kasus-kasus tersebut sudah bukan lagi bersifat kasuistik, melainkan bersifat universal, yang penting untuk terus diingat dalam hubungannya dengan masa depan sosial manusia. Lagu Wiji Munir Marsinah adalah satu dari sekian banyak suara tuntutan tersebut, dan lagu ini patut dicatat bukan cuma sebagai dokumen artistik, melainkan juga sebagai dokumen sosial.

Album “Tak Seterang Jalan Tuhan” berisi sembilan lagu, yang semuanya berasas solidaritas. Dengan pembacaan yang lebih spesifik, asas solidaritas tersebut direpresentasikan melalui gugatan terhadap manusia; makhluk biologis yang dengan kemampuan kognitifnya, justru menjadi pencipta nilai-nilai.

“Tak Seterang Jalan Tuhan” dibuka dengan lagu Berada di Antara Manusia; salah satu lagu terbaik di album ini; lagu yang memang cocok diletakkan sebagai pembuka. Di lagu ini gugatan terhadap manusia sudah ditunjukkan. Berjalan di atas petikan gitar akustik yang cenderung datar dengan ombak-ombak kecil di ujungnya. vokal Lavie yang kadang menurun, kadang mendatar, kadang meninggi, terasa mengasosiasikan pasang-surut hidup di tengah-tengah manusia yang kerap kali memang rumit dan ironis, di mana manusia, anehnya, punya kecenderungan menghancurkan sendiri nilai-nilai yang sudah dibangunnya. Ada kesan sang subjek dalam lagu ini hendak menampik manusia dalam pengertian tertentu. Bagian larik kembali pulang ke jalan/membawa bekal/dan tenang, memberi kesan ambigu. Bekal tak dibawa pergi, melainkan dibawa pulang. Namun, pulang bukan ke rumah, melankan ke jalan. Seakan ada upaya sang subjek untuk merenungkan dan menyusun ulang pemahaman esensial perihal bagaimana menjadi manusia, dengan cara berada di jalan, di tengah-tengah manusia lainnya. Dari lirik lagu ini kita juga bisa melihat kegemaran Lavie dalam menghadirkan ironi.

Lagu kedua, Make Love No War (Fuck Off Politicians), bernada riang dengan lirik persuasif, mengajak kesadaran kita untuk menentukan sikap dan memilih jalan. Sementara lagu ketiga, Wiji Munir Marsinah, meski, sebagaimana yang disinggung di atas, bertema jelas, namun liriknya cenderung non-sequitur, serupa puisi. Fitur-fiturnya memang terang, namun jalinan semantik yang dibentuk oleh larik-lariknya menghadirkan spektrum yang meluas; dari tatapan mata-kedua sampai disclaimer yang menunjukkan watak lagu itu sendiri. Larik “ada yang harus tetap ada” dalam lagu ini, saya anggap pintu utama dalam melihat album “Tak Seterang Jalan Tuhan” ini secara keseluruhan.

Lagu keempat, Kembalikan Masa Depanku, mengandung unsur perkusif yang dominan. Judul lagu ini jelas menampakkan hal yang ironis: masa depan yang belum datang itu sudah hilang. Masa depan itu tampaknya sudah tercuri oleh suatu sistem berpikir yang membentuk kelas-kelas sosial. Sedangkan dalam lagu kelima, Berangkat dari Teror, yang juga kuat unsur perkusinya, Lavie kembali menggugat manusia. Kita bisa dengar bagaimana sang subjek memproklamirkan dirinya sebagai bencana, yang menandakan pula bagaimana ia sekaligus menampik (dirinya sebagai) manusia. Dalam lagu keenam, Kubah Surgawi, Lavie lagi-lagi menunjukkan kegemarannya kepada ironi. Lagu bertempo lambat ini membenturkan kata surga dengan luka dan api. Lagu ketujuh, Ulah Manusia, menggambarkan bagaimana manusia menciptakan motif yang membuat sang subjek dalam album ini akhirnya memilih menggugat. Lagu yang disusul dengan lagu kedelapan, Tumbuhlah Tumbuh, yang penuh harapan, serta lagu Mars Lavie yang menutup album ini. Mars Lavie bisa dibilang adalah lagu pernyataan. Lagu yang bernuansa blues ini terasa sebagai encore untuk lagu-lagu lainnya.

Secara umum komposisi musik di album “Tak Seterang Jalan Tuhan” bisa dibilang bersahaja, di mana gitar akustik membentuk garis dasar, dengan unsur perkusi mengambil dominasi dalam beberapa lagu, juga kehadiran cello yang memberi ornamen tebal dan berat. Di tengah komposisi yang bersahaja itu, lagu dan lirik-lirik Lavie terasa menonjol; lirik-lirik berasaskan solidaritas yang direpresentasikan melalui gugatan terhadap manusia melalui semantik yang kerap mengandung ironi yang ironisnya memang adalah sifat yang tepat untuk merepresentasikan manusia.

Di masa kini, masa demokrasi-kapitalistik ini, lagu-lagu yang berasaskan solidaritas memang bermunculan dari banyak kelompok atau solois musik. Didukung oleh teknologi-informasi yang kian mudah, siapa saja dan di mana saja dapat bersuara melalui lagu, lirik, dan musik yang diciptakannya. Namun, sebagaimana air tetap harus ada meski banjir terjadi di mana-mana, album musik seperti “Tak Seterang Jalan Tuhan” yang dikerjakan Lavie ini harus tetap ada. Sebab, dalam situasi apapun, di masa macam apapun, selalu ada yang harus tetap ada.***

Kiki Sulistyo
Latest posts by Kiki Sulistyo (see all)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *