Setiap pagi di tangal 22 desember selalu kutuliskan pesan singat yang manis untuk Ibu, dan kemudian membagikan pesan ini ke sosmedku – untuk merayakan Hari Ibu.

Hari Ibu yang kita rayakan setiap tangal 22 Desmeber berkaitan dengan Kongres Perempuan Indonesia I yang diselengarakan pada 22-25 Desember tahun 1928, hanya beberapa minggu setelah Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda. Tidak abdol rasanya jika membahas Kongres Perempuan Indonesia I tanpa melihat kembali geliat pegerakan politik perempuan pada masa itu.

Gelombang pergerakan perempuan dimuali sejak periode penjajahan Belanda, saat itu gerakan perempuan sangat intens pada upaya pembebasan Indonesia dari pasung Kolonialisme. Tidak tangung-tangung, perempuan pada masa itu benar-benar terlibat secara fisik (perang).

Semangat pergerakan ini bagai bara dalam sekam yang membakar semangat setiap perempuan untuk berjuang demi kemerdekaan, hingga pada tahun 1912 lahir organisasi perempuan pertama di Indonesia yang bernama Putri Mardika dengan semangat membimbing perempuan bumi putra dalam menempuh pendidikan.

Pada 1913 menyusul terbentuknya Kartini Fond di Kota Den Hang, Belanda. Corak pergerakan politik perempuan pada masa itu berfokus pada pendidikan sebagai alat perlawanan, dan aktivitas penerbitan sebagai mesin propaganda gagasan perempuan berdikari.

Semangat pergerakan perempuan ini memantik lahirnya lebih banyak organisasi pergerakan perempuan di berbagai daerah di Indonesia.

Pada tahun 1928 Kongres Perempuan Indonesia I diselengarakan, berlangsung pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Kongres ini diikuti oleh tidak kurang dari 600 perempuan dari puluhan perhimpunan wanita yang terlibat. Mereka berasal dari berbagai macam latar belakang suku, agama, profesi, juga usia. Susan Blackburn dalam buku Kongres Perempuan Pertama (2007) mencatat, sejumlah organisasi perempuan yang terlibat antara lain Wanita Oetomo, Poetri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyiyah, Wanita Moeljo, Darmo Laksmi, Wanita Taman Siswa, hingga sayap perempuan dari berbagai organisasi pergerakan seperti Sarekat Islam, Jong Java, Jong Islamieten Bond, dan lain-lain.

Para aktivis organisasi perempuan yang datang ke kongsres membawa berbagai macam tujuan dan keresahan yang berporos pada satu titik; yaitu politik perempuan. Mengutip wawancara Ruth Indah Rahayu dengan Indoprogress, politik perempuan dalam konteks ini adalah politik untuk memajukan perempuan Indonesia, melindungi perempuan dari ketidak adilan, dan  mengentaskan kekerasan terhadap perempuan yang multi-dimensi.

Akan tetapi para aktivis perempuan yang hadir dalam kongres tidak hanya berbicara soal politik perempuan, politik perempuan dikaitkan juga dengan konteks politik kemerdekaan. Ada dua level pembahasan yang saling berkorelasi pada kongres ini; yang pertama mendeklarasikan politik perempuan, dan yang kedua mendeklarasikan bahwa politik perempuan ini berdiri di dalam konteks nasionalisme. Dalam kongres ini juga konsolidasi politik perempuan secara nasional terbangun, pergerakan perempuan yang awalnya berbasis kedaerahan menjelma menjadi gerakan nasional yang masif.

Setelah refleksi singkat pergerakan politik perempuan Indonesia, penulis berpikir bahwa momen 22 Desember sesungguhnya lebih dari sekadar merayakan Hari Ibu, melainkan juga memperingati pergerakan Politik perempuan di masa lalu.

Hari Ibu syarat dengan muatan ideologi pengibuan oleh Negara, Pengibuan ini adalah produk masyarakat patriarki yang berbasis pada politik seksual dan menetapkan perempuan hanya pada potensi reproduksi semata.

Dalam sejarah Indonesia, ideologi pengibuan ini diresmikan menjadi ideologi negara ketika Orde Baru berkuasa. Suharto mengambil ideologi pengibuan ini menjadi ideologi wanita Indonesia yang lebih popular disebut  dengan “Panca Dharma Wanita” yang isinya antara lain:

  1. Wanita Sebagai Istri Pendamping Setia Suami
  2. Wanita Sebagai Ibu Rumah Tangga
  3. Wanita Sebagai Penerus Keturunan dan Pendidik Anak
  4. Wanita Sebagai Pencari Nafkah Tambahan
  5. Wanita Sebagai Warga Negara dan Anggota Masyarakat

Yang semua isinya merupakan upaya masif dan terstruktur dalam domestikasi perempuan. Lalu guna menggerakkan ideologi ini dibentuklah organisasi-organisasi perempuan untuk menyebarkan narasi ideologi pengibuan oleh negara ke seluruh lapisan masyarakat. Ada tiga organisasi yang terkenal saat itu dan masih eksis hingga hari ini: ada Dharma Wanita untuk PNS, Dharma Pertiwi untuk ABRI, dan ada PKK untuk Sipil, organisasi-organisasi ini mengkonstruksi citra perempuan berdasarkan pada imajinasi maskulin kelompok elite.

Avatar
Latest posts by Alfian Romli (see all)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *