Pewarta: Aliurridha
Kapan aktivisme membutuhkan puisi? Pertanyaan ini adalah pertanyaan kunci yang berupaya dijawab dalam gelaran diskusi malam kelima Microfest (29/12/21). Dipandu Gilang Sakti Ramadhan, alumnus program offschool Akarpohon untuk penulisan puisi, diskusi malam kelima berjalan mulus. Ada dua pembicara yang diundang dalam sesi diskusi: Dedi Ahmad Hermansyah selaku penulis buku kumpulan puisi Seusai Perang Kita Akan Menghitung Bintang, dan Pe Wireselaku musisi yang mengalih-wahanakan puisi Dedi menjadi lagu.
Lewat sesi diskusi diketahui Dedi yang merupakan seorang aktivis selama masa kuliah, bersentuhan dengan dunia baca-tulis sejak masuk pesantren. Berbekal daya ingat yang kuat, Dedi memulai menulis lirik-lirik dari lagu-lagu populer yang pernah didengarnya. Kemudian dia mulai mengalih-wahana teks-teks audio yang didengarnya dari iklan di radio dan televisi menjadi teks tulis, dan dari itu dia menghasilkan teks-teks kreatif. Akan tetapi yang memantiknya untuk serius dalam menulis adalah apa yang disebutnya dengan jarak, yakni jarak yang memisahkan Dedi dengan kampung halamannya ketika dia harus merantau untuk berkuliah di Makassar. Keterpisahan antara dia dan kampung halamannya memantik kerinduan yang terobati dengan menulis.
Begitu tinggal di Makassar, gairah intelektual dan nalar kritis Dedi diasah lewat pelbagai gelaran diskusi di luar kelas. Lalu lewat UKM Pers Mahasiswa dia mulai mendalami teknis menulis. Namun, jarak kembali muncul. Ada jarak antara kegiatan aktivisme advokasi dan aktivisme literasi. Di Makassar kedua dunia ini terpisah dan berjalan masing-masing. Antara kerja-kerja aktivisme dan kerja-kerja literasi tidak pernah berjalan-beriring, dunia kata dan dunia kerja seolah terpisah. Hal ini kembali memancing Dedi untuk mencoba mengisi ruang kosong dalam unsur kebudayaan dari aktivisme advokasi yang digelutinya. Dan dari sanalah, teks-teks puisi yang merupakan benih dari buku kumpulan puisi Seusai Perang Kita Akan Menghitung Bintang ini lahir.
Diskusi bertolak ke pengalih-wahana. Pada sesi ini Gilang selaku pemantik bertanya perihal genre musik yang digeluti Pe Wira. Sebelum menjawab itu, Pe Wira menegaskan bahwa dirinya bukanlah musisi. Musik untuknya hanya hobi. Dan hal itu terlihat dari banyaknya aktivitas yang digelutinya. Selain rutin bermain musik menghibur orang, Pe Wira juga merupakan seorang fotografer, performer, perupa yang pernah mengikuti sejumlah pameran di Bali dan Lombok. Untuk genre musiknya sendiri, Pe Wira tidak menspesifikasinya. Karena dia merasa tidak menyukai satu jenis musik yang tertentu. Dia menyukai segala genre musik dan mendengar tidak terbatas pada beberapa genre saja. Jika pun ada sesuatu yang bisa digunakan mendeskripsikan genre masik yang digelutinya, maka itu adalah genre yang menggabungkan yang modern dan tradisional.
Diskusi kembali ke Dedi. Pemantik bertanya apa sekiranya buku atau karya sastra yang memantiknya untuk menulis. Dedi kemudian berupaya memetakan apa yang mungkin terjadi pada dirinya ketika kecil dulu. Berbekal ingatan, dia mulai menjelajahi masa kecilnya dan menemukan betapa ketika kecil dulu, eksposur teks memenuhi ruang geraknya. Dimulai dari ketika dia kecil dulu, dia sering meminjam dan membaca majalah Bobo dari teman kecilnya (yang cantik?). Kemudian tebaran teks-teks di dinding terminal yang ditulis dengan kreatif seperti yang terjadi pada dinding-dinding toilet di cerpen Eka Kurniawan. Lalu teka-teki silang dan buku-buku stensilan sampai pada karya sastra romantik ala Kahlil Gibran.
Diskusi ini juga melibatkan pertanyaan-pertanyaan yang lahir di luar pemantik. Beberapa orang terlibat termasuk yang menonton live di Toms Garden Cafe maupun live di instagram. Pertanyaan tertuju kepada kedua pembicara. Dimulai dengan pertanyaan yang ditujukan untuk Pe Wire yang diketahui bahwa sejak SD dia telah rajin ikut festival. Peserta jadi tertarik mendengar lingkungan seperti apa yang memantik Pe Wira ikut festival ketika SD dulu, dan apakah lingkungan itu masih sama saat ini.
Lewat jawaban Pe Wira diketahui bahwa lingkungan kecilnya memang disesaki oleh orang-orang yang menyukai musik. Orang tuanya adalah pecinta musik, dan hal ini membuat dia sejak SD sudah ngeband. Kemudian kegiatan ini berlanjut ke SMP dan SMA. Namun ketika dia masuk kuliah, Pe Wira mulai meninggalkan kegiatan ngeband dan partisipasi festivalnya. Dia lantas memulai musik solo dan menulis lagu-lagu yang lebih merefleksikan hidup. Dia terlibat ke banyak kerja-kerja aktivisme.
Ketika ditanya seberapa besar sastra berpengaruh ketika dia menulis lagu, Pe Wira menjawab sastra sangat berpengaruh. Hal ini bisa terlihat betapa lagu-lagu Pe Wira seperti juga karya sastra, dipenuhi dengan renungan dan refleksi akankehidupan.
Dedi juga mendapat beberapa pertanyaan dari peserta diskusi. Salah satunya menanyakan alasan yang sekiranya membuat keberjarakan antara aktivisme advokasi dan aktivisme literasi di Makassar. Menjawab ini Dedi kembali menarik ingatannya untuk memetakan masalah. Namun tidak ada jawaban terang untuk masalah ini. Meski begitu, saat ini kedua dunia yang berjarak ini mulai terjembatani, antara urusan politik dan kebudayaan mulai terhubung.
Sebagai pertanyaan penutup, pemantik ingin tahu bagaimana proses kedua pembicara dalam menulis, baik lagu maupun puisi. Keduanya memiliki kesamaan dalam berproses; sama-sama membutuhkan ruang hening untuk menulis. Pe Wira menulis lirik terlebih dahulu sebelum membuat musik. Lalu ketika mengalih-wahana puisi Dedi, Pe Wira tidak susah menemukan puisi yang akan dialih-wahanakan. Tanda-tanda kecocokkan langsung muncul dari puisi berjudul Lagu Harapan yang mana berisi harapan Pe Wire semoga lagu ini bisa menghibur petani dan bibit-bibit padi dan alam di sekitar mereka.
Kembali ke pertanyaan pembuka: jadi kapan sekiranya aktivisme membutuhkan puisi? Dari jalannya diskusi bisa disimpulkan bahwa aktivisme membutuhkan puisi saat kegiatan aktivisme terasa kaku dan puisi—percayalah, puisi—dapat melembutkannya.
Malam itu ditutup dengan tiga lagu dari Pe Wire. Seperti yang Pe Wira harapkan, lagu-lagunya benar-benar tidak hanya menghibur yang hidup, tidak hanya manusia, tetapi juga menghibur pohon-pohon, rumput, dan embun-embun yang menempel di permukaan daun.
- Tiga Pelajar Lombok Tengah Terbang ke Praha Ceko untuk Jajal Olimpiade Fisika Tingkat Dunia - Maret 29, 2023
- Pijet Kretek, Ilmu Refleksi Tubuh yang Dilestarikan Pram Sejak Zaman Nenek - November 24, 2022
- Politeknik Pariwisata Lombok Gelar Acara Wisuda di Sirkuit Mandalika - November 23, 2022